ISRA’ MI’RAJ DAN MANIFESTASI DALAM KEHIDUPAN

ISRA’ MI’RAJ DAN MANIFESTASI DALAM KEHIDUPAN
*Sutarjo Paputungan, M.Pd.I
“ Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isro:1)
Firman Allah Swt. tersebut menjelaskan tentang adanya peristiwa Isra’ Mi’raj yang menjadi peristiwa paling bersejarah bagi umat Islam. Peristiwa Isra’ Mi’raj yang berlangsung tahun 621 M dimana pada saat itu Nabi Muhammad SAW berusia 50 tahun atau tahun kesepuluh dari kenabiannya. Dari peristiwa ini, setiap tanggal 27 Rajab umat Islam selalu memperingatinya.
Sejarah Islam awal mencatat peristiwa spektakuler ketika ini “Yang di Langit” memanggil “yang di bumi” menjelajahi angkasa dan jagat raya. Sebuah bentuk pertautan kasih tanpa batas. Itulah Isra’ Mi’raj. Peristiwa boleh dibilang sangat istimewa dalam sejarah kenabian. Begitu banyak Nabi dan Rasul yang pernah dihadirkan Allah Swt, di muka bumi, hanya Muhammad yang beroleh kehormatan menikmati “wisata jagat raya” ini.
Merujuk pada titik pandang bahasa, isra adalah berjalan pada waktu malam atau membawa berjalan pada waktu malam. Dalam pengertian yang spesifik, isra adalah perjalanan pribadi Nabi Muhammad pada malam hari dalam waktu yang amat singkat, dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjidil Aqsa (Yerusalem). Sementara kata mi’raj berarti tangga sebagai alat atau semacamnya untuk naik dari bawah ke atas. Jadi, Mi’raj adalah peristiwa kenaikan Nabi Muhammad Saw. dari Masjidil Aqsa ke alam atas melalui beberapa tingkatan, terus menuju Baitul Makmur, Sidratul Muntaha, dan seterusnya menerima wahyu.
Setiap peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW selalu terdapat pesan tersirat dari Allah Swt, untuk dimaknai oleh hambanya begitupun dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang menurut saya memiliki makna yang luar biasa karena dari peristiwa tersebut terdapat Ibroh (pelajaran) yang dapat kita ambil hikmahnya untuk dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan. Kehidupan masa lalu, masa di zamannya Nabi Muhammad SAW yang masih disebut dengan zaman jahiliyah (kebodohan) tentu berbeda dengan zaman sekarang yang disebut dengan era digital. Walaupun demikian, kedudukan Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak akan pernah bisa tergantikan karena Al-Qur’an tidak hanya sebagai petunjuk bagi suatu umat tertentu dan periode tertentu melainkan menjadi petunjuk universal dan sepanjang waktu. Petunjuknya juga sangat luas seperti luasnya umat manusia dengan segala aspek kehidupannya. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam, Pada Periode Mekkah pengikut Nabi Muhammad SAW hanya sedikit. Dalam menjalankan dakwahnya selalu mendapat rintangan dan hambatan dari kaum kafir di Mekkah bahkan seringkali Nabi dan para sahabatnya diintimidasi bahkan sampai diembargo. Dalam kondisi seperti ini, pada tahun yang sama paman yang merawat dan melindunginya sejak kecil yakni Abu Thalib dan istri tercintanya Khadijah meninggal dunia. Ditengah duka yang mendalam ini, Allah Swt. mengajak Nabi Muhammad SAW untuk “refreshing” dan “rekreasi” dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsho di Palestina dengan menaiki “Buraq” untuk menghilangkan kesedihannya.
Isra’ Mi’raj dan Aspek Spiritual
Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW yang sangat dramatis dan fantastik. Dalam waktu yang kurang dari semalam tetapi Nabi berhasil menembus lapisan-lapisan spiritual hingga ke puncak Sidratil Muntaha. Walau sekejap, memori Nabi berhasil menyalin pengalaman Spiritualnya. Isra’ mi’raj merupakan proses spiritual yang sangat dalam yang menghubungkan umat manusia dengan Allah Swt. yakni diperintahkannya shalat lima kali dalam satu hari yang merupakan hasil “negosiasi” dari yang semula diperintahkan 50 kali dalam satu hari.
Shalat merupakan faktor terpenting dari tegaknya bangunan agama Islam. Begitu tinggi nilai ibadah shalat sampai Allah Swt, memberikannya tempat khusus dibandingkan amalan ibadah lainnya. Shalat senantiasa membuat manusia dekat kepada Allah Swt. sehingga hidupnya terjaga dan terpelihara. Shalat menggerakkan manusia untuk senantiasa berbuat baik dan melakukan yang terbaik dalam kehidupan. Dengan demikian, shalat tak sekedar ritual belaka melainkan juga mengandung makna mendalam dan luar biasa bagi kehidupan manusia. Shalat yang dilakukan dengan khusyu dan benar bisa meningkatkan kualitas hidup seseorang. Shalat merupakan bukti kebergantungan hamba kepada Allah Swt. Dalam shalatlah seorang hamba menyampaikan harapan dan do’anya kepada Allah Swt.
Isra’ Mi’raj dan Aspek Sosial
Peristiwa isra’ mi’raj menunjukkan bahwa semulia Nabi saja dirundung duka, apalagi kita sebagai manusia biasa. Kebahagiaan dan kesedihan seringkali berjalan beriringan. Beban hidup dan konflik sudah merupakan makanan sehari-hari. Dibenci, dipuji, dikhianati juga yang biasa dijumpai sehari-hari. Suka-duka, bahagia dan derita adalah harmoni dalam kehidupan. Peristiwa Isra’ Mi’raj mengajarkan kita agar kita bisa bangkit dari kesedihan, siap menata diri, menatap dan menjalani masa depan dengan penuh harapan sebagaimana Nabi Muhammad SAW membawa perubahan diri serta para pengikutnya di Mekkah untuk bangkit dari ketertindasan dan menjalani fase baru yang lebih baik tatkala hijrah ke Madinah.
Hijrahnya Nabi dan pengikutnya dari Mekkah ke Madinah menunjukkan bahwa telah terbangun adanya hubungan emosional diantara kedua penduduk tersebut yang merupakan bagian proses kehidupan bersosial. Isra’ yang disimbolkan dengan perjalanan Nabi dari Masjidil haram ke masjidil Aqsa mengindikasikan isyarat relasi horizontal yakni relasi kemanusiaan. Umat Islam diharuskan membangun komunikasi yang baik kepada sesama sehingga tercipta kehidupan yang harmonis di tengah perbedaan. Dengan demikian, Isra’ berarti memperbaiki hubungan dan realitas sosial menjadi lebih baik.
Isra’ Mi’raj dan Aspek Moral
Bagi umat Islam, peringatan Isra’ Mi’raj merupakan sebuah penghormatan serta cerminan cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Peringatan Isra Mi’raj mempunyai arti penting dalam mengilhami nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman untuk menyempurnakan perjalanan hidup menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dunia dan akhirat merupakan dua alam yang berbeda. Jika kita menghubungkan kebahagiaan dengan manusia yang merupakan sesuatu yang terpisah maka ada dua jenis kebahagiaan yakni kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan ruhani. Kebahagiaan jasmani adalah pencapaian segala kesenangan jasmani secara menyeluruh dalam hubungannya dengan intensitas kekuatan ataupun kelemahan kesenangan-kesenangan tersebut. Sedangkan kebahagiaan ruhani adalah pencapaian seluruh kesenangan rohani.
Untuk mencapai dua bentuk kebahagiaan tersebut bisa diraih dengan menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. pada saat Nabi Isra’ dan Mi’raj yaitu perintah shalat. Karena dengan shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Shalat memberikan kekuatan untuk tidak berbuat hal-hal yang merugikan orang lain. Shalat juga menyentuh pada dimensi rohani dengan memberikan pengaruh positif sehingga dapat memperbaiki tingkahlaku dan meluruskan akhlaknya.
Isra’ Mi’raj dan Aspek Intelektual
Hakikat Isra’ Mi’raj adalah peningkatan potensi spiritual dan intelektual manusia sebagai mahluk yang sempurna. Pada diri manusia terdapat sesuatu yang tidak ternilai harganya sebagai anugrah Allah Swt., yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal. Dengan akalnya manusia menjadi berarti dan berharga namun jika akalnya tidak digunakan maka manusia pasti akan celaka. Akal sedemikian penting dalam beraktifitas, maka Islam mengajarkan agar manusia mengembangkan intelektual dengan seluas-luasnya. Orang yang tidak menggunakan akalnya akan bodoh dan Islam mengajarkan agar kebodohan disingkirkan sejauh-jauhnya. Islam mendorong umat manusia mengembangkan ilmu pengetahuan secara tidak terbatas.
Abu jahal menolak Isra Mi’raj lantaran pertimbangan tidak masuk akal, sementara Abu Bakar, sahabat Nabi, menerimanya karena pertimbangan keimanan. Ini tidak berarti bahwa hanya iman yang menerima Isra’ Mi’raj dan akal pasti menolak Isra Mi’raj. Akal yang tercerahkan pasti menerimanya, yaitu akal akan memahami dengan benar bahwa ruang dan waktu yang menjadi inti persoalan dalam Isra’ Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW.
Marilah kita mengkaji secara cerdas tanpa emosi dan prasangka membabi-buta. Secara filosofis, isra’ dapat dimaknai sebagai sebuah perjalanan horizontal, yaitu perjalanan manusia bekerja, berkarya dan menebarkan kemakmuran dan kesejahteraan, sebagai implementasi tugas kekhalifaan manusia di bumi. Karena itu, apapun pekerjaan dan karya kita sepanjang tidak melenceng dari indikator-indikator tersebut maka itulah tugas kekhalifahan, dalam konteks isra’. Sementara mi’raj, bisa dimaknai secara filosofis sebagai suatu proses atau etape pendakian spiritual menuju kehadirat Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Itu berarti, medium apa saja yang bisa mengantarkan kita kepada upaya penghampiran kepada-Nya maka itu boleh disebut sebagai terjemahan Isra’. Pada peristiwa Isra’ Mi’raj tersirat pesan agar manusia menggunakan akalnya untuk menghayati keagungan dan kebesaran kuasa Allah Swt. karena sepanjang prosesi Isra’ Mi’raj terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.
Dari uraian diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa secara keseluruhan semangat Isra’ Mi’raj, kita jadikan pematik untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, dengan menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan bagi kita, serta menginginkan agar terciptanya relasi yang seimbang dalam menjalani kehidupan sehingga akan diperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Aamiin Ya Robbal Alamin.
*Penulis adalah Penggiat Literasi, Guru Fiqih MTs Negeri 1 Kota Gorontalo